Apakah pertanyaan yang paling menakutkan di dunia ini? Pertanyaan paling menakutkan adalah “kapan”. Dalam setiap fase kehidupan, pertanyaan “kapan” ini selalu muncul dan seakan semua orang tak berhenti menanyakannya. Pertanyaan yang selalu membuat dada berdegup kencang, perut terasa mulas, mulut mendadak kering, dan kaki gatal ingin segera melarikan diri sejauh-jauhnya dari si penanya.
Untuk para lajang di usia dewasa, pertanyaan “kapan kawin?” selalu membuat cemas. Apalagi bila melihat teman-teman sebaya sudah menikah. Tiap bertemu kerabat, pasti tidak jauh-jauh dari pertanyaan tersebut. Datang ke resepsi pernikahan teman rasanya jadi malas, karena pasti diiringi “kapan nyusul?”. Sungguh menyebalkan sekali deh L
Berdasarkan teori perkembangan Psikososial yang dikemukakan oleh Erik Erikson, usia 19-40 tahun merupakan fase dewasa muda dengan tugas perkembangan keintiman vs isolasi. Tugas perkembangan merupakan tanggung jawab yang semestinya dilewati oleh tiap orang yang berada pada fase tersebut. Di fase dewasa muda, tugas perkembangan yang harus dilakukan adalah menjalin hubungan percintaan yang intim. Oleh karena itu, pada usia dewasa muda, seseorang diharapkan sudah punya calon pasangan hidup, bahkan sepatutnya sudah menikah.
Berbicara mengenai pernikahan, wanita memiliki tuntutan yang lebih besar dari lingkungan untuk segera menikah. “Perawan tua” merupakan istilah yang sering dikemukakan oleh orang-orang sekitar pada para wanita yang tak kunjung menikah. Kini ada ungkapan baru, yaitu “daraluwarsa”. “Daraluwarsa” merupakan gabungan dari kata “dara” dan “kadaluwarsa”. Berdasarkan kamus Bahasa Indonesia, inilah arti dari dua kata tersebut :
Dara : anak perempuan yang belum kawin; gadis; perawan
Kadaluwarsa : (1) tidak model lagi (baju, kendaraan, dsb); tidak sesuai dng zaman (2) sudah lewat (habis) jangka waktunya (tt tuntutan dsb); habis tempo; (3) terlewat dr batas waktu berlakunya sebagaimana yg ditetapkan (tt makanan)
Bila diterjemahkan secara bebas, “daraluwarsa” memiliki makna gadis yang belum menikah dan sebentar lagi akan habis masa berlakunya. Mengapa bisa begitu? Ini berkaitan dengan fungsi reproduksi wanita yang memang memiliki batas waktu.
Saat lahir, wanita memiliki sejumlah sel telur, yang seiring dengan bertambahnya usia, terjadi penyusutan jumlah disertai dengan penurunan kualitasnya. Sel telur sangat dibutuhkan sebagai media pembuahan benih sehingga jumlah sel telur yang sedikit dan kualitas yang buruk akan meningkatkan kesulitan untuk hamil atau mendapatkan bayi yang sehat. Hal ini menimbulkan anggapan makin tua wanita menikah, maka peluangnya untuk hamil akan semakin kecil.
Para wanita yang berusia lebih lanjut pun cenderung dikhawatirkan mengalami kehamilan resiko tinggi (RISTI). RISTI biasa dialami oleh para wanita yang mengandung pada usia 35 tahun ke atas. Kehamilan RISTI mendatangkan berbagai kemungkinan melahirkan anak dengan keterbelakangan mental atau cacat fisik, maupun keguguran saat persalinan.
Dengan fakta-fakta seperti itu, banyak wanita yang telah berada di ambang batas usia pernikahan menjadi resah. Mereka ingin segera menikah agar bisa memperoleh keturunan yang sehat sebelum menjadi “daraluwarsa”. Ditambah lagi dengan berbagai tekanan dari lingkungan, seperti pertanyaan bertubi-tubi mengenai pernikahan, berbagai undangan acara pernikahan dari rekan-rekan yang berusia lebih muda, dan terjadinya penyempitan lingkaran dekat. Penyempitan lingkaran dekat ini biasanya terjadi pada kelompok teman dekat. Seorang wanita yang belum menikah sementara teman-teman sebayanya sudah berkeluarga, secara perlahan akan mulai merasa tertinggal karena tidak bisa mengikuti pembicaraan atau ritme kehidupan mereka, sehingga muncul perasaan terasing. Mereka akan cenderung mencari teman-teman sesama lajang yang jumlahnya akan semakin menyusut seiring berjalannya waktu.
Besar sekali tekanan sosial pada wanita berusia matang yang belum menikah. Kondisi ini dapat menjebak para wanita dalam hubungan yang tidak memuaskan, bahkan rentan mengalami kekerasan. Hal ini disebabkan saat seseorang dihadapkan dengan tuntutan dan harapan lingkungan yang bertubi-tubi, orang tersebut cenderung mengambil keputusan berdasarkan apa yang diharapkan oleh lingkungan, walaupun tidak setuju atau tidak sesuai dengan nilai-nilai dirinya.
Banyak orang yang beranggapan wanita yang sudah berada di ambang batas seharusnya tidak perlu lagi sok memilih pria. Ibaratnya, “sudah untung masih ada yang mau menikahi!”. Benarkah begitu? Tentu saja tidak! Tekanan sosial sebaiknya tidak mengaburkan penilaian kita mengenai pasangan hidup yang layak atau tidak layak untuk mendampingi kita. Memilih pria sesuai dengan harapan dan berkenan dengan hati merupakan hal utama dalam memilih pasangan hidup meski pastinya tidak ada manusia yang sempurna. Pengambilan keputusan yang tergesa – gesa demi memenuhi tuntutan lingkungan, berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari dalam kehidupan pernikahan.
Para gadis lajang cantik dan istimewa, berlatih yuk untuk berani mengatakan “tidak” pada calon pasangan hidup yang tidak memenuhi harapan sesuai tuntunan yang kita yakini. Berhenti untuk berpikir bahwa Anda tidak berharga. Anda bukan perawan tua, bukan pula daraluwarsa. Anda adalah DARALUARBIASA yang pantas mendapatkan pasangan hidup yang dapat diajak bekerja sama menuju pernikahan yang bahagia.
Penulis: Mardiana Hayati Soleha, M.Psi., Psikolog
Editor: Indah Sulistyarini, M.Psi., Psikolog
Gambar: https://storage.googleapis.com/esme-assets/cms/pics/8Av0fA1Z1sl1rQzs.png