Apa reaksi Ayah-Bunda ketika melihat anak kecil? Pasti sontak ingin segera memeluk, mencium, atau sekadar menjawil pipi karena gemas melihat kelucuan mereka. Sebagian besar orang tua pun tak keberatan bila anaknya dijadikan sasaran “kegemasan” dari orang lain. Bahkan banyak orang tua yang menyuruh anaknya untuk menerima atau balik memberikan bentuk sayang pada orang-orang terdekat, baik dalam bentuk pelukan atau ciuman di pipi. Kalimat seperti, “ayo, disayang dulu om/tantenya”, “sun dulu dong”, “kalau nggak disayang nanti om/tantenya sedih” cukup sering terlontar dari bibir orangtua. Hal yang dianggap wajar bila seorang anak kecil dipeluk, dicium, ataupun tidur bersama orang dewasa. Benarkah demikian? Ternyata justru perbuatan tersebut justru bisa memicu timbulnya pelecehan seksual pada anak.
Anak, terutama usia di bawah 7 tahun, merupakan sasaran pelecehan seksual yang paling rentan karena mereka masih belum memahami konsep “pelecehan” dan seringkali tidak menyadari mereka sedang dilecehkan. Mengapa demikian?
Berdasarkan tahap perkembangan kognitif Piaget, anak berusia 2-7 tahun berada pada tahap pre-operasional. Pada tahap ini, anak belum dapat berpikir logis, apalagi memahami konsep abstrak. Pola pikir anak usia ini dibentuk oleh orang-orang lain di sekitarnya. Sejalan dengan tahap perkembangan moral Kohlberg, anak berusia di bawah 7 tahun, berada pada tahap pre-konvensional. Pada tahap ini, anak mulai membedakan antara “benar” dan “salah”. Bagi anak, hal yang benar atau salah merupakan aturan yang dibentuk oleh orang dewasa. Dilihat dari tahap perkembangan kognitif maupun moral anak berusia di bawah 7 tahun, dapat disimpulkan bahwa tindakan-tindakan mereka didasari oleh kepatuhan terhadap perintah orang dewasa. Anak juga mulai menyadari bahwa tindakan mematuhi aturan akan mendapatkan hadiah, sedangkan melanggar aturan akan mendapatkan hukuman.
Tidak semua para pelaku pelecehan maupun kekerasan seksual pada anak yang tampil mengerikan. Justru sebagian besar di antara mereka menampilkan kesan “baik dan bersahabat” sehingga dapat memperoleh kepercayaan dari orangtua dengan mudah. Mereka pun tidak langsung melakukan tindak asusila tersebut, melainkan melimpahi anak dengan perhatian bahkan hadiah-hadiah terlebih dahulu. Saat melakukan tindakan asusila tersebut, banyak pelaku yang menggunakan kedok “sayang” untuk membenarkan tindakan mereka. Anak yang masih belum dapat memahami konsep “sayang” akan mempercayai perkataan sang pelaku. Anak akan semakin mudah percaya bila orangtua sering mendorong anak untuk mengekspresikan rasa sayangnya pada orang lain dalam bentuk sentuhan fisik.
Anak dapat merasa takut, aneh, dan tidak suka dengan tindakan sang pelaku, namun tetap akan melakukannya karena meyakini “apa yang dikatakan orang dewasa adalah benar”, terutama bila pelaku adalah pihak otoritas, seperti guru. Sosok yang harus dihormati dan dipatuhi. Anak takut bila menolak mereka akan dikenakan hukuman. Anak-anak juga sering diminta oleh pelaku untuk tidak bilang ke Ayah-Bunda, sehingga khawatir Ayah-Bunda akan marah bila anak jujur.
Ayah-Bunda memang tidak dapat mengetahui dengan pasti mana orang-orang yang benar-benar baik atau pelaku kejahatan seksual pada anak. Orangtua juga sulit memantau tiap gerak-gerik anak atau membatasi orang-orang yang berinteraksi dengan anak. Walaupun begitu, sebagai tindakan pencegahan pelecehan seksual, berikut tips-tips yang dapat dilakukan oleh orangtua :
Berikan seks edukasi sesuai usia
Ayah-Bunda harus mengajarkan pada anak mengenai anggota tubuh yang privat, seperti anggota tubuh yang boleh terlihat atau tidak, serta aturan mengenai siapa yang boleh menyentuh dan di mana boleh menyentuh. Ajari anak untuk membersihkan diri, seperti cebok dan mandi. Tegaskan pada anak untuk senantiasa buang air di kamar mandi dan berganti pakaian di kamar tertutup
Ajari anak pertahanan diri dasar
Beritahu anak bila ada yang menyentuh di tempat-tempat intim, tegaskan bahwa itu bukanlah bentuk kasih sayang. Ajarkan pula pada anak untuk berkata “tidak”, berteriak keras, lari, lalu melaporkan pada orangtua, guru, atau polisi, bila ada orang yang menyentuh bagian-bagian tersebut. Tidak peduli siapa pun yang melakukannya.
Hindari menunjukkan bagian tubuh anak di ruang publik
Ayah-Bunda, selucu apapun foto anak saat sedang berenang atau mandi, simpan sebagai konsumsi pribadi saja ya. Jangan diunggah di sosial media (atau set sosial medianya menjadi akun privat). Biasakan juga anak untuk memakai baju yang menutup aurat dan selalu berpakaian lengkap di depan umum.
Dengarkan dan waspada
Dengarkan bila anak berulang-ulang menceritakan orang tertentu atau bahkan menunjukkan keengganan, bahkan ketakutan, untuk bertemu orang tertentu. Tanyakan lebih lanjut apa penyebab ketakutan anak dan yakinkan anak kalau Ayah-Bunda tidak akan memarahi bila mereka jujur. Sebaiknya Ayah-Bunda juga tidak memaksa anak untuk salim, peluk, sun, dll, bila anak tidak mau.
Penulis: Mardiana Hayati Solehah, M.Psi., Psikolog
Editor: Indah Sulistyarini., S.Psi., M.M., Psikolog
Gambar: https://www.gettyimages.com/detail/photo/