Badai Pandemi COVID-19 bak pisau bermata dua yang bisa berpotensi meningkatkan atau bahkan menurunkan ketahanan keluarga. Potensi mengancam ketahanan keluarga seperti manakala terlalu banyak menghabiskan waktu bersama yang disinyalir dapat menimbulkan emosi, ketegangan, perseturuan bahkan KDRT hingga angka perceraian di China meningkat paska lockdown (cnnindonesia.com, 2020). Namun di sisi lain, saat pandemic COVID-19 ini ada beberapa kelompok masyarakat yang memiliki probabilitas peningkatan stress yang lebih kecil, yaitu pada mereka yang berkomunikasi dengan baik dengan anggota keluarga, berpartisipasi di aktivitas bersama keluarga dalam kegiatan hiburan maupun melakukan pekerjaan rumah tangga (Zhang et al., 2020).
Maka pada artikel ini, akan dijabarkan 8 tips untuk menjadi keluarga yang tangguh yang bisa meningkatkan ketahanan keluarga saat badai COVID-19 ini :
- Menghadapi stress oleh anggota keluarga. Karena saat masa pandemic seperti ini, stress/tekanan merupakan hal normal yang terjadi. Maka menurut Pelayanan Konseling Satelit Universitas Indonesia, 2020 hal yang perlu dilakukan untuk menghadapi stress adalah
- Mengenali bahwa kita sedang stress dan mengetahui sumber stresny Pada tahap ini saat mengalami tekanan, maka ada aspek pikiran, emosi dan perilaku menjadi teropong. Jika menyerang fisik, maka kita akan merasakan gejala fisik seperti pusing, sakit pencernaan, atau merasa sesak napas. Dalam hal emosi, dampak yang dirasakan adalah munculnya perasaan sedih, cemas, takut. Dalam hal perilaku dampaknya adalah panic buying, bermain game online terus menerus atau menonton tayangan yang berlebihan
- Menerima bahwa pada kondisi yang tidak ideal ini adalah wajar terdapat tekanan atau stres. Dengan menerima bahwa diri kita sedang stress, maka kita dapat mengambil langkah untuk menghadapinya
- Mengelola stress untuk mengatasi stress dengan cara yang positif. Saat stress terjadi, maka kita perlu melakukan aktivitas yang bisa meredakan emosi negatif yang dirasakan seperti mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, berolahraga, atau berbicara pada sumber dukungan sosial seperti keluarga dan teman – teman.
- Membagi skala prioritas waktu. Dengan mengalokasikan waktu untuk working time, me-time, couple-time, family time. Karena tiap individu memerlukan waktu-waktu tersebut yang perlu disesuaikan porsinya sesuai kebutuhan (Jaysurrahman, 2020)
- Mengomunikasikan dengan baik alokasi waktu yang telah dibuat kepada anggota keluarga. Sehingga anggota keluarga bisa berempati dan dapat meminimalisir terjadinya konflik.
- Saat me-time lakukan evaluasi diri dan memaafkan kesalahan anggota keluarga. Hal ini bisa dilakukan saat me-time dengan mengapresiasi apa yang sudah baik dan mengakui kesalahan dan kekurangan diri serta memafkan diri sendiri. Di dalam keluarga sangat mungkin ada konflik, tapi dengan berdamai dengan diri sendiri dan memaafkan kesalahan anggota keluarga akan membantu melegakan hati.
- Bangun kehangatan dengan mengadakan aktivitas bersama keluarga atau family time dengan optimal. Pada waktu ini bisa dengan menonton tayangan bersama, ibadah bersama, makan bersama, atau sekadar duduk bersama saling berbagi cerita yang membuat anggota keluarga nyaman untuk saling terbuka. Sebaiknya pekerjaan atau gadget dihindarkan saat seperti ini untuk mencapai kehangatan optimal.
- Bangun tanggung jawab dengan membagi tugas dalam melakukan pekerjaan rumah. Peran mengerjakan pekerjaan rumah bukan hanya tanggung jawab ibu, akan tetapi ayah dan anak punya kewajiban untuk membantu. Dengan mengerjakan bersama, maka akan timbul rasa keterlibatan sehingga bisa memunculkan kekompakkan (Zhang, et al, 2020).
- Membangun budaya saling membantu. Saling membantu atau altruism adalah kunci utama dari ketahanan keluarga (Sunarti, 2001). Karena keluarga yang memiliki ketahanan adalah keluarga yang tangguh menghadapi berbagai masalah di dalam keluarga. Dibutuhkan kerjasama seluruh anggota keluarga untuk saling membantu untuk dapat keluar dari masalah tersebut.
- Tetap optimis dan berusaha. Optimis adalah ketika anggota keluarga atau kesatuan keluarga memiliki tujuan Bersama dan memiliki pandangan yang positif tentang masa depan bahwa akan selalu ada harapan. Hal ini mendorong diri untuk berusaha mengoptimalkan segala potensi yang dimiliki anggota keluarga/kesatuan keluarga untuk menyongsong hari esok yang lebih baik.
Badai COVID-19 di Indonesia belum selesai, tapi akhir dari COVID-19 akan ditentukan dari usaha apa yang sudah dan akan kita lakukan. Apakah Indoenisa akan berakhir dengan angka perceraian yang meningkat seperti Cina atau Indonesia bisa membuat pusaran ke arah yang lebih positif, yaitu semakin tangguhnya keluarga Indonesia sehingga ketahanan keluarga masyarakat Indonesia bisa meningkat.
Oleh: Dini Hanifa, S.Psi