"Seandainya di dunia ini ada surga, surga itu adalah pernikahan yang bahagia" (Marie von Ebner - Eschenbach)
'Baiti Jannati' Rumahku Surgaku.....Begitulah Rasulullah Saw menunjukkan kepada kita dengan ungkapan yang sangat sederhana tentang bagaimana rumah tangga beliau. Suasana surgawi rumah tangga Baginda Rasulullah Saw bukan-lah karena rumah besar bak istana dengan lantai mengkilap. Bukan pula karena adanya tempat tidur empuk yang membuat tidur menjadi nyenyak. Jika kemewahan yang menjadi syarat untuk menimbulkan kemesraan dalam rumah tangga, maka tak akan ada kisah indah yang bisa kita petik dari pernikahan Rasulullah Saw, sebab di rumah beliau tak ada perlengkapan rumah yang bisa disebut indah. Ingatkah kita bahwa tempat tidur Rasulullah Saw hanyalah pelepah kurma yang disusun sehingga tatkala beliau bangun akan membekas pada pipi dan punggungnya.
Kerelaan hati untuk memafkan kesalahan, menerima kekurangan dan memahami perbedaan adalah hal-hal yang dicontohkan Rasululllah saw dalam rumah tangganya. Kisah turunnya surah At-Tahriim ayat 1 - 5 adalah tentang memaafkan kesalahan. Peristiwa tragedi maghafir tersebut memang mengguncang hati Rasulullah sehingga membangkitkan kemarahan yang sangat besar. Namun kasih sayang dan kemaafan Rasulullah jauh lebih besar dari murkanya. Kerelaan untuk memaafkan ini-lah yang mutlak diperlukan untuk menjadikan biduk rumah tangga tidak pecah di lautan yang ganas.
Apa yang terjadi pada rumah tangga Rasulullah Saw memberikan insight kepada kita bahwa kelapangan dada untuk memaafkan adalah kekuatan yang dapat membangkitkan kebaikan, sehingga menjadi indah pada akhirnya. Karena bila Rasulullah tidak memaafkan Aisyah RA dan Hafsah RA, maka tak akan ada kisah romantis dan mengharukan di akhir hayat beliau saat berpulang padaNYA di atas tempat tidur Aisyah.
Memaafkan kesalahan bukan berarti kita harus mengingkari fitrah, karena menolak konflik justru dapat menjadi bom waktu yang sangat berbahaya bagi kelangsungan sebuah rumah tangga. Betapa sering kita menjumpai suami atau istri yang meluapkan kemarahan tidak pada tempatnya. Mereka mendapati peristiwa yang menyulut amarah di luar rumah, namun kemudian melampiaskannya ketika berada di rumah. Mereka berusaha mengingkari perasaannya saat menghadapi orang lain diluar rumah, sementara akhirnya keluarga menjadi korban. Rasulullah Saw sendiri ketika peristiwa maghafir tersebut bukannya tidak marah. Umar Ibn Khaththab bahkan menggambarkan bahwa saat itu Rasulullah Saw sangat marah. Hanya saja, kemarahan beliau yang sangat besar tersebut tidak menyebabkan beliau kehilangan kendali.
Salah satu cara sederhana yang bisa kita lakukan ketika kita menjumpai pasangan kita begitu menjengkelkan adalah dengan senantiasa berusaha mengingat kebaikan-kebaikannya. InshaALLAH, dengan mengingat-ingat kebaikan-kebaikan suami/istri kita, maka hati kita akan jauh lebih lembut dan mudah untuk memaafkan. Tak ada manusia yang terbebas dari kekurangan, tidak terkecuali suami/istri kita, begitu pula dengan diri kita sendiri. Suami/istri, bahkan anak-anak kita sesungguhnya merupakan 'teman' bagi kita untuk mengasah segala kebaikan. Mereka pula-lah yang membantu kita dalam menempa cinta yang sesungguhnya, hingga cinta yang kita miliki benar-benar murni karena-NYA.
Bila cinta antar anggota keluarga terbingkai atas dasar cintaNYA, dan menggapai keridhaanNYA menjadi cita-cita akhir sebuah keluarga bermuara, maka tak akan berlebih bila kemudian sebuah rumah tangga menjadi Surga di dunia.
"Ya Rabbana... Jadikan-lah rumah tangga ini menjadi sarana yang bisa mempertemukan kami semua kelak dengan-MU..."
Penulis : Fajriati M Badrudin, Psikolog
Editor : Eri Vidiyanto, M.Psi, Psikolog