Suatu ketika, seorang laki-laki mengeluh kepada Umar ibnul Khaththab bahwa cintanya kepada istrinya sudah memudar. Hampir-hampir tak ada cinta lagi. Karena itu, ia bermaksud menceraikannya. Umar kemudian mengingatkan, “Sungguh jelek niatmu. Apakah semua rumah tangga hanya dapat terbina dengan cinta? Dimana takwamu dan janjimu kepada ALLAH? Dimana pula rasa malumu kepada NYA? Bukankah kamu sebagai suami istri telah saling bercampur (sehingga tampaklah rahasiamu) dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang amat berat?”
Dalam salah satu buku wajib mahasiswa psikologi, yaitu Human Development (Papalia & Olds, 1995), dikemukakan bahwa cinta yang didasari semata-mata oleh ketertarikan dan gairah asmara akan cepat pudar. Pernikahan yang hanya digerakkan oleh ketertarikan fisik dan rangsangan seksual akan segera menemukan kehampaannya.
Sebaliknya, kadang kala pernikahan tidak diawali dengan cinta, tetapi oleh niat yang lurus dan komitmen yang kokoh. Dalam tulisannya yang berjudul A Triangular Theory of Love, RJ Stenberg menyebutkan salah satu jenis cinta yang disebut Empty Love yang biasa ditemukan pada pasangan yang telah berpuluh tahun menikah. Meski mereka tak lagi memiliki gairah yang menggebu atau keintiman yang tinggi, tetapi mereka memiliki ikatan batin yang sangat kuat sehingga senantiasa rukun.
Bahkan penelitian dari Fehr dan Russel (1991) menunjukkan hasil yang mengejutkan. Ternyata, cinta yang paling baik ternyata bukan cinta romantis (cinta yang dipenuhi oleh kemesraan dan kasih sayang). Mereka yang memiliki cinta romantis biasanya senantiasa ingin selalu berdekatan secara fisik dan selalu ada ikatan emosional yang sangat kuat, tetapi tak ada komitmen yang dipegang bersama. Karena itu, bila waktu telah berlalu dan gairah sudah tidak lagi menggebu-gebu, tak ada lagi yang dapat melanggengkan hubungan. Sebab, ketika kemesraan dan kasih sayang sudah pudar, komitmen kepada nilai yang kita yakini merupakan perekat paling kuat. Komitmen moral (takut dengan gunjingan orang bila bercerai) mau pun komitmen terhadap pendidikan anak, memang bisa menjadi perekat perkawinan. Tetapi komitmen-komitmen tersebut TAK AKAN SEKUAT komitmen terhadap agama.
Hari ini, ketika manusia yang mendekati kesempurnaan hampir-hampir tak dapat lagi kita temukan, kita perlu meluaskan jiwa agar tidak meninggikan harapan. Sebaliknya, kita perlu menguatkan komitmen untuk saling memperbaiki, saling menolong dalam meningkatkan ketaqwaan kepadaNYA. Komitmen akan mendorong kita untuk lebih mampu menerima keadaan, sekaligus pada saat yang sama memperjuangkannya ke tingkat yang lebih baik.
Komitmen yang kuat, bisa menghasilkan kekuatan jiwa yang bisa menyempurnakan apa yang penuh kekurangan. Inilah yang dapat lebih menjamin kebahagiaan dari pada hati yang penuh dengan tuntutan. Bisa jadi, ALLAH SWT telah mengkaruniai kita seorang pasangan yang memiliki keutamaan yang baik; seorang suami/istri yang baik, santun, penyayang, penuh perhatian, dan berilmu. Tetapi, sebaik apa pun suami kita, bila ia selalu kita bandingkan dengan harapan sebelum dan sesudah menikah, ia tidak akan mencapai keutamaan sedikitpun. Selalu saja ada hal yang membuat kita mengeluh dan kecewa. Sebabnya bukan karena dia tidak memiliki keutamaan dan kesempurnaan. Bisa jadi, orang lain memandang dengan iri kepada kita sambil diam-diam berdo’a agar mendapatkan pasangan seperti suami/istri kita. Hati kita yang keruh dan jiwa kita yang keras lah yang membuat kita tidak akan pernah bisa bersyukur terhadap keutamaan pasangan kita.
Bila kita menuntut kesempurnaan – bukan menguatkan komitmen untuk mencapai kesempurnaan- maka, apa pun yang dilakukan oleh pasangan kita akan selalu tampak kurang dan penuh cacat. Ibarat minum air laut, semakin banyak kita meminumnya, maka kita akan semakin kehausan. Seperti itu juga bila rumah tangga ditegakkan dengan tuntutan agar pasangan kita sempurna; semakin lama kita bersamanya, semakin besar kekecewaan kita.
?? ????????????? ??????????????? ?????? ???????????????? ??????? ???? ??????????? ??????? ?? ???????? ????? ?????? ??????? ?????????
“Dan bergaullah kalian dgn mereka (istri-istri kalian) secara patut. Kemudian bila kalian tdk menyukai mereka, (maka bersabarlah) krn mungkin kalian tdk menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yg banyak.” (QS Annisa : 19)
Semoga ALLAH senantiasa mengukuhkan komitmen kita dalam mengapai kenikmatan surga dunia dan melapangkan dada kita ketika mendapati ketidaksempurnaan pasangan kita (karena kita pun sesungguhnya jauh dari kesempurnaan), untuk selanjutnya melangkah melakukan perbaikan.
*Dinukil dari buku Agar Cinta Bersemi Indah, buah karya Mohamad Fauzil Adhim
Editor : Eri Vidiyanto, M.Psi, Psikolog