Sahabat, pernahkah kalian melihat lansia atau ibu hamil yang berdiri di bus, kereta,a tau angkutan umum lain? Pernahkah kalian melihat pedagang pikulan yang terduduk lesu karena dagangannya belum laku? Pernahkah kalian melihat teman yang biasanya ramai, hari ini nampak sendu? Pernahkah kalian melihat orang yang sedang dalam kesulitan, seperti teman kalian dipalak atau ditindas atau anak kecil diganggu oleh orang dewasa? Apa reaksi kalian saat itu?
Jujur saja, sebagian besar orang akan cenderung bersikap abai menanggapi situasi tersebut. Saat berada di bus atau kereta dan melihat ada kelompok prioritas yang tidak dapat tempat duduk, banyak orang tetap memilih duduk nyaman. Saat melihat teman yang diganggu, memilih pura-pura tidak tahu. Saat melihat orang yang dalam kesulitan, hanya berlalu karena menganggap punya lebih banyak urusan.
"Memangnya tidak peduli ya? Tidak punya empati?"
"Peduli sih, tapi kan ada orang lain yang akan menolong. Kenapa harus saya?"
Sahabat, yuk berkenalan dengan “bystander effect”! Apa sih “bystander effect” itu? Istilah ini pertama kali dikemukakan oleh Latane dan Darleys (1970), tokoh Psikologi Sosial, setelah terjadi peristiwa pembunuhan Kitty Genovese di New York pada tahun 1964. Pada saat Kitty ditusuk berulang kali oleh sang pelaku di jalan raya, terdapat 38 orang yang menyaksikan. Mereka mengetahui saat itu Kitty sedang dalam bahaya, namun tidak ada satu pun yang menolong. Kita pasti bertanya-tanya, “kok bisa sih tidak ada satu pun yang menolong?”. Ya bisa. Semakin banyak kerumunan yang ada, semakin besar kemungkinan tidak ada yang menolong.
Fenomena “Bystander Effect” menunjukkan bahwa saat seseorang berada di tengah kerumuman, tingkat kepedulian mereka menjadi lebih rendah dan respon untuk menolong menjadi sangat lama atau bahkan tidak ada respons sama sekali. Bystander Effect ini terjadi karena dua hal, yaitu (1) tanggung jawab yang kabur dan (2) pemikiran akan munculnya reaksi negatif dari orang lain. Mari kita coba simak bersama-sama penjabaran di bawah ini.
Tanggung jawab yang kabur atau tidak jelas
Saat berada di tengah kelompok, biasa terjadi penurunan tingkat tanggung jawab, karena adanya kebingungan, sehingga cenderung mengandalkan orang lain. Bila Sahabat mencoba berefleksi, pemikiran-pemikiran seperti ini biasa terjadi di tengah kelompok,
“terus ini kerjaan siapa jadinya?”
“lalu siapa yang mau tanggung jawab?”
“ah, kalau pun gue nggak ngerjain, pasti si anu udah ngerjain deh”
Sama halnya dengan saat kita melihat situasi yang menuntut pertolongan tempat umum, seperti melihat kelompok prioritas berdiri di transportasi publik. Semua orang mungkin berpikir, “ah, kalau gue nggak ngasih tempat duduk, yang lain pasti ngasih”, “dia kayaknya lebih kuat deh, biar dia aja lah yang ngasih”. Selanjutnya bisa ditebak dong apa yang akan terjadi? Yup! Akhirnya semua orang mengandalkan “orang lain” dan tidak ada yang bertindak.
Pemikiran akan munculnya reaksi negatif dari orang lain
Saat berada di tengah kelompok, norma yang berlaku adalah norma kelompok. Oleh karena itu, tiap tindakan kita pasti akan didasarkan pada hasil observasi kelompok yang lain. Saat seseorang ingin melakukan tindakan berbeda, biasanya akan muncul pikiran akan reaksi negatif atau malah terjadi kemunculan reaksi negatif tersebut. Siapa sih yang mau dibilang “sok”, “ikut campur”, atau komentar negatif yang lain? Pasti tidak ada yang mau. Jadi tahap awal saat kita menanggapi situasi adalah kita melihat respons orang di sekitar dulu. Bila mereka tidak merespons, maka kita pun cenderung tidak merespons. Padahal ya semua orang saling melihat satu sama lain, jadi tidak ada norma baku bagaimana seharusnya bertindak pada saat itu.
Fenomena “bystander” ini sudah sering sekali terjadi dalam berbagai situasi. Dari situasi yang dianggap remeh, sampai kasus-kasus lain yang lebih besar, seperti bullying, KDRT, pelecehan, depresi, hingga tindakan kriminal. Pasti banyak sekali saksi mata yang mengetahui terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut, tapi memilih untuk diam saja.
Setiap kita tentunya punya kepedulian yang besar, empati, dan kesadaran akan pentingnya perlakuan yang baik untuk semua manusia. Akan tetapi, kita kurang memiliki keberanian untuk berbeda. Jauhi “bystander effect” dan bertindak sekarang!
Mulailah dari hal-hal kecil di lingkungan sehari-hari. Tidak perlu bertindak bombastis, lakukan saja yang kamu bisa, seperti memberikan tempat dudukmu pada kelompok prioritas, menepuk pundak temanmu dan menanyakan masalah apa yang tengah dialaminya, atau menyisihkan sedikit uangmu untuk membeli dagangan pedagang keliling yang kamu temui. Tindakan nyata, sekecil apapun akan sangat berarti.
Penulis: Mardiana Hayati Solehah, M.Psi., Psikolog
Editor: M. Chalid Bahar, S.Psi., M.M., Psikolog
Gambar: https://unsplash.com/photos/76HhAKI5JXI